Rabu, 26 Juni 2013
Minggu, 23 Juni 2013
Let's Go Green
Sudah Go Green-kah kita?
Pertanyaan yang menjadi PR besar kepada kita agar senantiasa untuk mengajak serta siapa saja untuk melakukan kegiatan ini. Banyak dampak yang sudah kita rasakan, kampanye-kampanye ramai menyerukan untuk Go Green. Namun sudahkan kita secara continue untuk melakukannya?
Sebenarnya kita tidak perlu terlalu memikirkan apa aksi besar kita agar Go Green. cukup tindakan kecil namun membawa dampak besar bagi keberhasilan Go Green. Diantara kegiatan sederhana yang dapat kita lakukan antara lain :
Pertanyaan yang menjadi PR besar kepada kita agar senantiasa untuk mengajak serta siapa saja untuk melakukan kegiatan ini. Banyak dampak yang sudah kita rasakan, kampanye-kampanye ramai menyerukan untuk Go Green. Namun sudahkan kita secara continue untuk melakukannya?
Sebenarnya kita tidak perlu terlalu memikirkan apa aksi besar kita agar Go Green. cukup tindakan kecil namun membawa dampak besar bagi keberhasilan Go Green. Diantara kegiatan sederhana yang dapat kita lakukan antara lain :
- menghantarkan sampah sampai ke tempat dimana sampah itu semestinya berada.
- meminimalisisr penggunakan kantong plastik dalam kehidupan sehari-hari.
- mematikan lampu apabila tidak diperlukan
- gunakan air secukupnya
- jika bepergian ke lokasi yang relatif dekat, sebisa mungkin menggunakan sepeda.
- TANAM POHON...!
Dari kegiatan kecil ini, apabila dilakukan secara terus menerus, bukan tidak mungkin bumi kita hijau kembali...
Kalau bukan kita yang melakukan, siapa lagi?
Senin, 17 Juni 2013
REAKSI REDOKS PADA PEMERIKSAAN BENEDICT KUALITATIF
PENGANTAR
A. Reaksi Redoks
1. Pengertian
Reaksi redoks
adalah reaksi kimia yang disertai perubahan bilangan oksidasi atau reaksi yang
di dalamnya terdapat serah terima elektron anatar zat.
2. Contoh Reaksi Redoks
Contoh
reaksi redoks adalah apabila batang tembaga dicelupkan dalam larutan perak
nitrat, maka lapisan putih mengkilat akan terjadi pada permukaan batang tembaga
dan larutan berubah menjadi biru.
Dalam hal ini bilangan oksidasi tembaga naik dari 0 menjadi +2 dan bilangan oksidasi perak turun dari +1 menjadi 0. Tembaga mengalami oksidasi dan perak mengalami reduksi. Persamaan reaksi antara keduanya dapat dituliskan sebagai berikut:
atau
Reaksi redoks ini sering dinyatakan dengan penulisan setengah reaksi secara terpisah, pelepasan elektron sebagai oksidasi dan penangkapan elektron sebagai reduksi:
TINJAUAN PUSTAKA
B.
Test
Glukosa Urine metode Benedict
1.
Pengertian
Tes glukosa urine adalah pemeriksaan pada sampel urine untuk mengetahui ada/tidaknya glukosa dalam urine. Pemeriksaan ini termasuk pemeriksaan penyaring dalam urinalisis.
2.
Tujuan
Tujuan dari tes ini adalah untuk mendiagnostik ada atau tidaknya glukosa di dalam urine.
3.
Dasar Teori
Pemeriksaan
glukosa urine dengan tes reduksi atau menggunakan benedict ini memanfaatkan
sifat glukosa sebagai pereduksi. Zat yang paling sering digunakan untuk
menyatakan adanya reduksi adalah yang mengandung garam cupri. Reagen terbaik
yang mengandung garam cupri adalah larutan Benedict.
Prinsip
dari tes Benedict adalah glukosa dalam urine akan mereduksi kuprisulfat (dalam
benedict) menjadi kuprosulfat yang terlihat dengan perubahan warna dari larutan
Benedict tersebut. Jadi, bila urine mengandung glukosa, maka akan terjadi
reaksi perubahan warna seperti yang dijelaskan di atas. Namun, bila tidak
terdapat glukosa, maka reaksi tersebut tidak akan terjadi dan warna dari
benedict tidak akan berubah.
Perhatian
Tes
reduksi ini tidak spesifik karena ada zat lain yang juga mempunyai sifat
pereduksi seperti monosakarida (galaktosa, fruktosa, pentosa), disakarida
(laktosa), dan beberapa zat bukan gula (asam homogentisat, formalin, salisilat
kadar tinggi, vitamin C).
4. Prosedur Kerja
· Alat
dan bahan
o Tabung
reaksi
o Lampu
spiritus/ water bath
o Rak
tabung reaksi
o Penjepit
tabung reaksi
o Reagen
Benedict
· Cara
Kerja
o Siapkan
alat dan bahan
o Masukkan
5 ml reagen Benedict ke dalam tabung reaksi
o Teteskan
sebanyak 5-8 tetes urin ke dalam tabung tersebut
o Masukkan
tabung tadi ke dalam air mendidi (water bath) selama 5 menit atau langsung
dipanaskan di atas lampu spiritus selama 3 menit mendidih.
o Angkat
tabung, kocok isinya dan bacalah hasil reduksi
· Penilaian
o
-
: tetap biru jernih atau sedikit kehijauan dan agak keruh
o
+
: hijau kekuningan dan keruh ( sesuai dengan 0,5 - 1% glukosa)
o
++
: kuning kehijauan atau kuning keruh (1 - 1,5% glukosa)
o
+++ :
jingga atau warna lumpur keruh (2 - 3,5% glukosa)
o
++++ : merah bata atau
merah keruh ( > 3,5% glukosa)
Perhatian
:
Dalam membaca hasil harus segera setelah diangkat
dan dikocok. Bila dibiarkan lebih lama, hasilnya akan lebih positif
Keterangan
: Glukosa dan fruktosa memiliki sifat pereduksi sehingga warna benedict
berubah. Sedangkan sukrosa tidak memperlihatkan perubahan berarti karena tidak
punya sifat pereduksi. Pada gambar di atas sudah menunjukkan + 4 karena berwarna
merah bata.
PEMBAHASAN
Reaksi redoks adalah reaksi kimia yang disertai perubahan
bilangan oksidasi atau reaksi yang di dalamnya terdapat serah terima elektron
anatar zat. reaksi
oksidasi adalah reaksi pengikatan oksigen, atau pelepasan hidrogen, atau
pelepasan elektron. Sedangkan sebaliknya, reaksi reduksi adalah reaksi
pelepasan oksigen, atau pengikatan hidrogen, atau pengikatan elektron. Batasan
lain yaitu bahwa reaksi oksidasi adalah reaksi penaikan bilangan oksidasi dan reaksi reduksi adalah reaksi
penurunan bilangan oksidasi. Kedua reaksi ini selalu terjadi secara bersamaan,
serentak, artinya ada spesies yang teroksidasi dan spesies lainnya tereduksi.
Oleh karena itu, lebih tepat dinyatakan sebagai rekasi reduksi-oksidasi atau
disingkat reaksi redoks.
Pada pemeriksaan glukosa
urine metode Benedict kualitatif terjadi reaksi redoks antara reagen CuSO4 yang
digunakan dengan glukosa dalam sampel urine
Benedict:
CuSO4. 5H2O
glukosa: C6H12O6
Reaksi:
2 CuSO4.5H2O + C6H12O6 -----------------> C6H12O7 + Cu2O + 2H2SO4 + 8 H2O
warna larutan yang tebentuk tergantung jumlah Cu2O yang terbentuk
glukosa: C6H12O6
Reaksi:
2 CuSO4.5H2O + C6H12O6 -----------------> C6H12O7 + Cu2O + 2H2SO4 + 8 H2O
warna larutan yang tebentuk tergantung jumlah Cu2O yang terbentuk
Berdasarkan reaksi antara CuSO4
dengan glukosa dalam urine,
dimana CuSO4 berperan
sebagai oksidator karena mengoksidasi glukosa dan mengalami proses reduksi
dibuktikan dengan penurunan bilangan oksidasi dari CuSO4 menjadi
Cu2O dimana ion Cu dari +2 menjadi +1
Sedangkan yang berperan menjadi
rekduktor adalah glukosa yang terdapat dalam urine karena mereduksi CuSO4dan
mengalami proses oksidasi dibuktikan dengan peningkatan bilangan oksidasi dari C6H12O6
menjadi C6 H12O7dimana ion O mengalami
kenaikan bilangan oksidasi dari 0 menjadi 1/3
KESIMPULAN
Ternyata
dalam pemeriksaan kimia klinik didapatkan contoh reaksii redoks yaitu pada
pemeriksaan reduksi urine dengan metode benedict kualitatif.Dimana zat yang
berperan sebagai reduktor adalah glukosa yang terdapat dalam urine,sedangkan
yang berperan sebagai oksidator adalah CuSO4. Dibuktikan bahwa
didalam reaksinya terdapat penurunan dan kenaikan bilangan oksidasi seperti
yang telah dijelaskan pada pembahasan diatas.
DAFTAR PUSTAKA
2. http://books.google.co.id Mudah dan Aktif Belajar Kimia
Oleh Yayan Sunarya & Agus S
3. Gandasoebrata, R. 2008. Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta: Dian Rakyat
Sabtu, 15 Juni 2013
Jumat, 14 Juni 2013
makalah parasitologi hubungan cacing helminth dengan kesejahteraan manusia
HUBUNGAN
INFEKSI CACING HELMINTH DENGAN KESEJAHTERAAN MANUSIA
Disusun
oleh :
Emi
Endraswati
A102.08.023
Reguler
1B1
AKADEMI
ANALIS KESEHATAN NASIONAL SURAKARTA
2013
PENDAHULUAN
Salah satu masalah kesehatan di
Indonesia yang mempengaruhi kesejahteraan masyarakat adalah infeksi cacingan
yang dapat terjadi pada semua kelompok umur. Pembangunan dalam segala bidang
yang dilakukan oleh pemerintah saat ini guna meningkatkan kualitas sumber daya
alam takkan berarti banyak jika masih banyak masyarakat yang memiliki masalah
kesehatan seperti cacingan. Banyak masyarakat yang terinfeksi cacing
dikarenakan kondisi lingkungan atau sanitasi yang kurang baik.
Indonesia
adalah Negara berkembang yang masih banyak memiliki masalah kesejahteraan
rakyatnya, kepadatan penduduk, kebiasaan hidup yang buruk, dan sanitasi
lingkungan yang tidak baik dapat mempermudah penyebaran infeksi cacing di
masyarakat. Masyarakat yang tidak
sejahtera secara ekonomi maupun sosial seperti diatas akan mudah terinfeksi
caxing Helminths, dan manusia yang terinfeksi cacing Helminths sudah tentu
tidak sejahtera hidupnya karena dapat mempengaruhi kesehatan fisiknya sehingga
kegiatan atau aktifitas seperti bekerja menjadi terganggu dan dapat pula
menurunkan produktifitas kerja mereka yang berakibat kesejahteraan mereka
menurun. Untuk selengkapnya akan dibahas dalam makalah ini pada bab selanjutnya
mengenai factor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyebaran infeksi cacing,
cacing Helminthes apa saja yang sering menginfeksi manusia, dan hubungan
infeksi cacing tersebut dengan kesejahteraan manusia.
PEMBAHASAN
A. Infeksi
Cacingan
Adalah penyakit yang
ditularkan melaui makanan dan minuman atau melalui kulit dimana tanah
sebagai media penyebarannya yang disebabkan oleh cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), cacing tambang (Ancylostoma duodenale, Necator americanus
) (Jawetz,at al, 1996).
Infeksi
cacingan banyak ditemukan pada anak-anak terutama pada anak usia sekolah dasar,
yang dapat mengganggu pertumbuhan dan kecerdasan mereka.
B. Epidemiologi
1. Ascaris lumbricoides
Infeksi yang disebabkan oleh
cacing ini disebut Ascariasis. Ascaris lumbricoides merupakan nematoda usus
terbesar. Angka kejadiannya di dunia lebih banyak dari cacing lainnya,
diperkirakan lebih dari 1 milyar orang di dunia pernah terinfeksi dengan cacing
ini. Hal ini disebabkan karena telur cacing ini lebih tahan terhadap panas dan
kekeringan.
Tidak jarang ditemukan infeksi campuran dengan cacing lain.
Manusia dapat terinfeksi dengan cara menelan telur cacing Ascaris lumbricoides yang infektif (telur yang mengandung larva).
Di daerah tropis, infeksi cacing ini mengenai hampir seluruh lapisan
masyarakat, dan anak lebih sering terinfeksi. Pencemaran tanah oleh cacing
lebih sering disebabkan oleh tinja anak. Perbedaan insiden dan intensitas
infeksi pada anak dan orang dewasa kemungkinan disebabkan oleh karena berbeda
dalam kebiasaan, aktivitas dan perkembangan imunitas yang didapat. Prevalensi
tertinggi Ascariasis di daerah tropis pada usia 3–8 tahun.
a) Morfologi Cacing dewasa
Cacing berwarna putih atau merah muda.
Cacing ini dapat langsung diidentifikasikan karena ukurannya yang besar, yaitu
cacing jantan 10–31 cm dengan diameter 2–4 mm, betina 22–35 cm, kadang-kadang
sampai 39 cm dengan diameter 3–6 mm. Pada kepala terdapat tiga bibir, satu yang
lebar di medio dorsal dan sepasang di ventro lateral. bagian
anterior tubuh, mempunyai dentakel-dentakel halus. Ujung posterior cacing
jantan melengkung kearah ventral dan sepasang spikulum terdapat dalam sebuah
kantong. Vulva cacing betina letaknya di tengah ventral dekat perbatasan bagian
anterior dan bagian tengah.
b) Telur
Telur yang dibuahi besar dan berbentuk
lonjong dengan ukuran 45–75 mikron x 35–50 mikron. Pada waktu dikeluarkan dalam
tinja telur belum membelah. Dengan adanya mamillated outer coat, telur
ini dapat bertahan hidup karena partikel tanah melekat pada dinding telur yang
dapat melindunginya dari kerusakan. Telur yang tidak dibuahi yang ditemukan
dalam tinja berukuran 88–94 mikron x 44 mikron. Telur yang tidak dibuahi
dihasilkan oleh cacing betina yang tidak dibuahi atau cacing yang masih muda
dan belum lama mengeluarkan telur. Isi telur yang tidak dibuahi terdiri atas
granula dengan berbagai ukuran dan tidak teratur. Dinding telur yang lebih
bujur ini, lebih tipis dari dinding telur yang dibuahi.
c)
Siklus hidup.
Siklus hidup ascaris dimulai dari telur yang dihasilkan
oleh cacing betina dewasa di dalam usus manusia, dan dikeluarkan melalui feses.
Manusia merupakan satu-satunya hospes defenitif. Seekor cacing betina dapat
mengeluarkan 100.000–200.000 telur perhari, yang terdiri atas telur yang
dibuahi dan yang tidak dibuahi. Dengan kondisi yang menuntungkan seperti
udara yang hangat, lembab, tanah yang terlindung dari matahari, embrio akan berubah
menjadi larva di dalam telur dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Telur yang
infektif bila tertelan oleh manusia dindingnya akan mulai dicernakan di
lambung, selanjutnya telur masuk ke duodenum. Perbedaan keasaman cairan lambung
dan duodenum akan melemahkan dinding telur serta merangsang pergerakan larva
yang terdapat didalamnya sehingga dinding telur pecah dan larva keluar. Larva
akan menembus dinding usus dan menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu
dialirkan melalui sirkulasi portal masuk ke hepar, kemudian ke jantung dan
paru-paru. Di paru-paru larva menembus dinding pembuluh darah dan dinding
alveolus, masuk kerongga alveolus kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus
dan bronkus. Dari trakea larva menuju ke faring dan menimbulkan rangsangan
batuk. Adanya rangsangan batuk ini menyebabkan larva tertelan ke esofagus, lalu
menuju usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak
telur matang tertelan sampai cacing dewasa diperlukan waktu lebih kurang 3
bulan, cacing dewasa dapat hidup di usus halus selama 1 tahun di usus halus.
d) Gejala klinik
Dalam perjalanan larva melalui hati dan
paru-paru biasanya tidak menimbulkan gejala. Bila jumlah larvanya cukup besar
dapat menimbulkan tanda-tanda pneumonitis. Ketika larva menembus jaringan
paru–paru masuk ke dalam alveoli, mungkin terjadi sedikit kerusakan pada epitel
bronkhial. Dengan terjadinya reinfeksi dan migrasi larva berikutnya, jumlah
larva yang sedikitpun dapat menimbulkan reaksi jaringan yang hebat. Reaksi
jaringan yang hebat dapat terjadi di sekitar larva di dalam hati dan paru-paru,
disertai infiltrasi eosinofil, makrofag, dan sel sel epiteloid. Keadaan ini
disebut sebagai pneumonitis Ascaris yang dapat disertai reaksi alergi
seperti dispnea, batuk kering atau produktif, mengi, demam. Terdapatnya
cacing dewasa dalam usus biasanya tidak menyebabkan kelainan kecuali bila
jumlahnya banyak sekali, meskipun demikian, karena kecenderungan cacing dewasa
untuk bermigrasi, seekor cacingpun dapat menimbulkan kelainan serius. Migrasi
cacing dapat terjadi karena rangsangan seperti demam, penggunaan anestesi umum.
Migrasi ini dapat menimbulkan obstruksi usus masuk ke saluran empedu, saluran
pankreas. Dapat juga bermigrasi keluar melalui anus, mulut atau hidung.
. 2. Trichuris trichiura
Infeksi oleh cacing ini disebut trichuriasis.
Diperkirakan sekitar setengah milyar kasus diseluruh dunia. Trichuriasis
paling sering terjadi pada masyarakat rural yang miskin dimana fasilitas
sanitasi tidak ada.Prevalensi infeksi berhubungan dengan usia, tertinggi adalah
anak-anak usia sekolah. Penularan terjadi melalui kontaminasi tangan, makanan
atau minuman.
a) Morfologi. Cacing dewasa.
Cacing dewasa berwarna merah muda,
melekat pada dinding sekum dan pada dinding apendiks, kolon atau bagian
posterior ileum. Bagian tiga perlima anterior tubuh adalah langsing, dan bagian
posterior tebal, sehingga menyerupai cambuk. Cacing jantan berukuran 30–45 mm
dengan bagian kaudal melingkar. Cacing betina berukuran 35–50 mm dan ujung
posteriornya membulat.
b)
Telur.
Telur cacing cambuk berukuran 30–54 x 23
mikron, berbentuk seperti tempayan (gentong) dengan semacam tutup yang jernih
dan menonjol pada kedua kutupnya. Kulit bagian luar bewarna kekuning-kuningan
dan bagian dalamnya jernih. Sel telur yang dibuahi pada waktu dikeluarkan dari
cacing betina dan terbawa tinja ke luar tubuh manusia, isinya belum bersegmen.
Di dalam tanah, memerlukan sekurang-kurangnya 3–4 minggu untuk menjadi embrio.
Cacing betina dapat mengeluarkan telur sebanyak lebih kurang 4000 telur per hari.
Keadaan udara yang lembab perlu untuk perkembangannya.
c)
Siklus hidup.
Manusia merupakan hospes defenitif utama
pada cacing cambuk, walaupun kadang kadang terdapat juga pada hewan seperti
babi dan kera. Bila telur berisi embrio tertelan manusia, larva yang
menjadi aktif keluar melalui dinding telur yang tak kuat lagi, masuk kedalam
usus bagian proksimal dan menembus vili usus. Di dalam usus dapat menetap
selama 3–10 hari. Setelah menjadi dewasa cacing turun kebawah ke daerah sekum.
Suatu struktur yang menyerupai tombak pada bagian anterior membantu cacing itu
menembus dan menempatkan bagian anteriornya yang seperti cambuk kedalam mukosa
usus hospesnya. Di tempat itulah cacing mengambil makanannya. Masa pertumbuhan,
mulai dari telur tertelan sampai menjadi dewasa lebih kurang 30–90 hari. Cacing
betina dewasa dapat memproduksi 2000–6000 telur/hari. Cacing dewasa dapat hidup
untuk beberapa tahun.
d)
Gejala klinik
Perkembangan larva Trichuris
trichiura di dalam usus biasanya tidak memberikan gejala klinik yang berarti
walaupun dalam sebagian masa perkembangannya larva memasuki mukosa intestinum
tenue. Proses yang berperan dalam menimbulkan gejala yaitu trauma oleh cacing
dan dampak toksik. Trauma pada dinding usus terjadi karena cacing ini
membenamkan kepalanya pada dinding usus. Cacing ini biasanya menetap pada
sekum.Gejala pada infeksi ringan dan sedang anak menjadi gugup, susah tidur,
nafsu makan menurun, bisa dijumpai nyeri epigastrik, muntah, kontipasi, perut
kembung. Pada infeksi berat dijumpai mencret yang mengandung darah, lendir,
nyeri perut, tenesmus, anoreksia, anemia dan penurunan berat badan. Pada
infeksi sangat berat bisa terjadi prolapsus rekti.
3.
Cacing tambang (Ancylostoma duodenale, Necator americanus).
Ancylostoma
duodenale dan Necator americanus ditemukan
di daerah tropis dan sub tropis. Manusia merupakan penjamu primer untuk cacing
ini. Kondisi yang optimal untuk daya tahan larva adalah kelembaban sedang
dengan suhu berkisar 23 – 33 0 celcius. Morbiditas infeksi cacing tambang
terutama terjadi pada anak-anak. Manusia mendapat infeksi dengan cara tertelan
larva filariform ataupun dengan cara larva filariform menembus kulit. Pada Necator americanus infeksi melalui kulit lebih disukai,
sedangkan pada Ancylostoma duodenale infeksi lebih sering terjadi dengan tertelan
larva.
a)
Morfologi Cacing dewasa
Bentuk cacing dewasa
kecil, silindris. Cacing jantan berukuran 5–11 mm x 0,3–0,45 mm, dan cacing
betina 9–13 mm x 0,35–0,6 mm Ukuran Ad sedikit lebih besar dari Necator americanus.
b) . Telur cacing.
Na dapat menghasilkan 10.000–20.000
telur setiap harinya, sedangkan Ad 10.000–25.000 telur perhari. Ukuran telur Na
adalah 64–76 mm x 36–40 mm dan Ad 56–60 mm x 36–40 mm. Telur cacing tambang
terdiri dari satu lapis dinding yang tipis dan adanya ruangan yang jelas antara
dinding dan sel di dalamnya.
c). Siklus hidup
Manusia merupakan satu-satunya hospes
defenitif dari kedua cacing tambang ini. Siklus hidup cacing terdiri atas tiga
tahap yaitu telur, larva, dan cacing dewasa. Cacing tambang melekat pada mukosa
usus halus dengan rongga mulutnya. Telur yang dikeluarkan bersama tinja menjadi
matang dan mengeluarkan larva rhabditiform dalam waktu 1–2 hari pada suhu
optimum. Dalam waktu 3–4 hari larva rhabditiform menjadi larva filariform yang
infektif dan dapat menembus kulit manusia. Bila larva menembus kulit manusia
akan mengikuti aliran limfe atau pembuluh kapiler dan dapat mencapai paru-paru.
Larva akan naik ke bronkus dan trakea, akhirnya masuk ke usus dan menjadi
dewasa. Migrasi melalui darah dan paru-paru berlangsung selama satu minggu,
sedangkan siklus dari larva menjadi dewasa berlangsung 7–8 minggu.
d ) Gejala klinik
Gejala klinik dapat ditimbulkan cacing
dewasa atau larvanya. Bila larva infektif menembus kulit dapat terjadi gatal-gatal.
Bila jumlah larva infektif yang masuk banyak , maka dalam beberapa jam saja
akan terjadi reaksi alergi terhadap cacing yang menimbulkan warna kemerahan,
berupa panel yang dapat menjadi vesikel. Reaksi ini disebut “ground itch”.
Bila larva infektif Ancylostoma duodenale
tertelan, maka sebahagian akan menuju ke usus dan tumbuh menjadi dewasa.
Sebahagian lagi akan menembus mukosa mulut, faring dan melewati paru - paru
seperti larva menembus kulit. Cacing dewasa Necator
americanus yang menghisap darah penderita akan menimbulkan kekurangan darah
sampai 0,1 cc per hari, sedangkan seekor cacing dewasa Ancylostoma duodenale
dapat menimbulkan kekurangan darah sampai 0,34 cc per hari. Akibat anemia
tersebut maka penderita tampak pucat. Berat ringannya anemia tentu juga
dipengaruhi oleh keadaan kesehatan secara umum dan nutrisi penderita. Di
negara-negara tropis umumnya sumber ferrum dalam makanan berupa sayur-sayuran
dan buah buahan, hal ini menyebabkan absorpsi ferrum kurang bila dibandingkan
dengan absorpsi dari sumber produk hewani
C. Diagnosis kecacingan
Untuk mendiagnosis
kecacingan banyak cara dan tehniknya, cara yang lazim ialah memeriksa tinja
segar dengan membuat sediaan langsung (direct smear). Untuk pemeriksaan
ini sebaiknya jangan diambil tinja yang sudah kering atau yang lama (lebih dari
24 jam) karena telur cacing tambang dalam tinja yang agak basah dalam waktu itu
akan menetas dan sukar diidentifikasi. Cara yang dianjurkan internasional adalah
cara Kato Katz, yaitu sediaan tinja ditutup dan diratakan dibawah “cellophane
tape” yang sudah direndam dalam larutan hijau malachit (malachite green)
supaya dapat efek penjernihan (clearing)
D. Dampak cacingan bagi tubuh manusia
Cacingan dapat mempengaruhi
pemasukan (intake), pencernaan (digestif), penyerapan (absorbs) dan metabolisme
makanan. Secara kumulatif, infeksi cacingan dapat menimbulkan kerugian zat gizi
berupa kalori dan protein serta kehilangan darah. Selain itu dapat menghambat
perkembangan fisik, kecerdasan dan produktifitas kerja serta dapat menurunkan
daya tahan tubuh sehingga mudah terserang penyakit. Semakin banyak cacing dalam
tubuh maka dampak yang ditimbulkan semakin berat.
E. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Cacing
1. Perilaku
Perilaku merupakan refleksi dari
berbagai gejala kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat,
motivasi, persepsi, sikap dan lain-lain.gejala-gejala kejiwaan tersebut
dipengaruhi pengalaman, keyakinan, fasilitas dan factor social buadaya yang ada
di lingkungannya (Notoatmodjo,2003).
Perilaku masyarakat untuk buang air
besar disembarang tempat dan kebiasaan untuk tidak memakai alas kaki mempunyai
intensitas infeksi cacing, dengan pola transmisi infeksi cacing tersebut pada
umumnya terjadi di dekat rumah (Bakta1995). Kebiasaan buang air besar yang
menetap ternyata menyebabkan tingginya infeksi “Soil-Transmited Helminths”
2. Pengetahuan
Salah satu factor yang dapat menyebabkan
terjadinya penularan infeksi cacing adalah kurangnya pengetahuan tentang
infeksi cacingan. Penelitian Wachidanijah (2002) menunjukkan bahwa terdapat
kecenderungan makin tinggi pengetahuan maka makin baik perilaku hidup sehatnya.
3. Kebersihan diri (Hygine Perorangan )
Usaha kesehatan pribadi (Hygine
perorangan ) adalah daya upaya dari seseorang untuk memelihara dan mempertinggi
derajat kesehatannya sendiri, meliputi : memelihara kebersihan, makanan yang
sehat, pola hidup teratur, meningkatkan daya tahan tubuh dan jasmani,
menghindari penyakit, meningkatkan taraf kecerdasan dan rohaniah.
Kebersihan diri yang buruk merupakan
cerminan dari kondisi lingkungan dan perilaku individu yang tidak sehat. Penduduk miskin dengan
kebersihan diri yang buruk mempunyai kemungkinan yang besar untuk terinfeksi
semua jenis cacing (Brown, 1989)
4. Faktor Lingkungan
Factor lingkung atersebut adalah
meliputi factor lingkungan fisik, ekonomi , social dan budaya.status sehat akan
tercapai bila keempat factor tersebut dalam kondisi yang optimal. Dalam
penanggulangan cacingan, pengawasan sanitasi air dan minuman sangat penting,
karena penularan cacing terjadi melalui penularan air atau makanan yang
terkontaminasi telur atau larva infektif (Riyadi, 1984). Pembuangan kotoran,
air buangan dan sampah serta pemeliharaan lingkungan rumah juga penting untuk
penanggulangan penyebaran cacing. Tidak tersedianya jamban, air yang kurang
bersih serta adanya sampah yang berserakan dapat mepermudah penyebaran penyakit
termasuk cacingan
F. Hubungan Infeksi Cacing Helminth Terhadap Kesejahteraan Manusia
Menurut hasil pendataan
keluarga yang dilakukan pada tahun 1995, sekitar 56% dari 39,4 juta keluarga di
Indonesia masih berada dalam tahap tertinggal atau keluarga pra sejahtera dan
keluarga sejahtera I. Mereka ini adalah keluarga yang belum atau baru sekedar
dapat memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup. Pendapatan nasional
perkapita penduduk Indonesia pada tahun 2000 dilaporkan sebesar US $ 709. Angka
ini sudah meningkat bila dibandingkan tahun 1999 (US $ 621) dan tahun 1998 (US
$ 477). Namun masih jauh di bawah pendapatan nasional perkapita pada masa
sebelum krisis ekonomi tahun (tahun 1997 US $ 1063 & tahun 1996 US $ 1124).
Kebutuhan pokok atau
kebutuhan dasar (basic needs) dapat dijelaskan sebagai kebutuhan yang
sangat penting guna kelangsungan hidup manusia. Kebutuhan pokok ada dua yaitu
kebutuhan atau konsumsi individu (makan, perumahan, pakaian) maupun keperluan
pelayanan sosial tertentu (air minum, sanitasi, transportasi, kesehatan dan
pendidikan). Pitomo Sundoyo menyatakan bahwa Samir Radwan dan Torkel Alfthan
mengatakan, keperluan minimum seorang individu atau rumah tangga adalah: makan,
pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan, air dan sanitasi, transportasi,
partisipasi dalam masyarakat. Tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga dapat
dilihat melalui besarnya pendapatan yang diterima oleh rumah tangga yang
bersangkutan. Hasil Susenas juga menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat
pendapatan penduduk semakin tinggi pula persentase atau porsi pengeluaran untuk
barang bukan makanan (semakin rendah persentase pengeluaran untuk makanan)
Status sosial ekonomi
berdasarkan BKKBN:
ü Keluarga pra sejahtera adalah keluarga yang belum dapat memenuhi
kebutuhan dasar (basic need) secara minimal, seperti kebutuhan akan ,
pangan, sandang, papan .
ü Keluarga sejahtera I adalah keluarga yang telah dapat memenuhi
kebutuhan dasarnya secara minimal, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan sosial
psikologisnya, seperti kebutuhan akan pendidikan, KB, interaksi dalam keluarga,
interaksi lingkungan tempat tinggal, dan transportasi.
ü Keluarga sejahtera II adalah keluarga disamping telah dapat
memenuhi kebutuhan dasarnya, juga telah dapat memenuhi kebutuhan sosial
psikologisnya, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya, seperti
kebutuhan untuk menabung dan memperoleh informasi.
ü Keluarga sejahtera III adalah keluarga yang telah dapat memenuhi
seluruh kebutuhan dasar, sosial psikologis, dan pengembangan keluarganya,
tetapi belum dapat memberikan sumbangan yang teratur pada masyarakat, seperti
sumbangan materi, dan berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan.
ü Keluarga sejahtera III plus adalah keluarga yang telah dapat
memenuhi seluruh kebutuhan dasar, sosial psikologis dan pengembangannya serta
telah dapat memberikan sumbangan yang teratur dan berperan aktif dalam kegiatan
kemasyarakatan.
Salah satu masalah kesehatan masyarakat Indonesia yang tidak
kurang pentingnya adalah infeksi cacing usus. Cacing usus umumnya tergolong
nematoda dan penularannya perantaraan tanah (soil transmitted helminths). Tanah
tergolong hospes perantara atau tuan rumah sementara, tempat perkembangan
telur-telur atau larva cacing sebelum dapat menular dari seorang kepada orang
lain. Penularannya sebagian melalui mulut menyertai makanan atau minuman,
sebagian lagi larvanya menembus kulit memasuki tubuh. Cacing
- cacing usus yang merupakan persoalan kesehatan masyarakat di Indonesia
mencakup 4 spesies utama yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura,
Necator americanus, dan Ancylostoma duodenale.
Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa penyebaran atau
penularan infeksi cacingan dapat disebabkan oleh berbagai factor seperti
perilaku, pengetahuan, kebersihan diri dan kebersihan lingkungan. Dan tidak
semua keluarga dapat memenuhi hal tersebut dengan baik. Semakin sejahtera hidup
manusia maka semakin kecil kemungkinan terinfeksi cacing karena mereka dapat
memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan baik termasuk kebutuhan akan hidup
sehat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sri Alemina Ginting
(2002), Pada kelompok anak yang menderita kecacingan umumnya berasal dari
keluarga sejahtera I (46,4%), Dijumpai hubungan bermakna antara pendidikan ayah
pada kelompok anak yang terinfeksi cacing dan yang tidak terinfeksi. Pada kedua
kelompok anak yang terinfeksi cacing dan yang tidak terinfeksi pendidikan ayah
yang terbanyak adalah sekolah dasar (masing masing 36,9% dan 30,6%). Tidak ada
ayah yang berpendidikan akademi pada kelompok anak yang terinfeksi. Pendidikan
ayah pada dua kelompok yang tertinggi adalah sarjana masing masing 2,4% pada
anak yang terinfeksi cacing dan 8,3% pada anak yang tidak terinfeksi.
Kondisi keluarga yang sejahtera secara ekonomi, social dan budaya
dapat menjamin kebutuhan gizi yang sesuai bagi keluarga, perilaku hidup sehat,
lingkungan rumah yang sehat sehingga infeksi cacing Helminth dapat dicegah. Dan
kehidupan keluarga yang tidak sejahtera secara ekonomi, social dan budaya
seperti keluarga prasejahtera dan sejahtera I belum dapat menjamin terpenuhinya
kebutuhan gizi, dan pola hidup sehat mereka dengan baik sehingga kemungkinan
infeksi menjadi lebih besar.
Menyadari
akibat yang dapat ditimbulkan oleh gangguan parasit terhadap kesejahteraan
manusia, maka perlu dilakukan usaha pencegahan dan pengendalian penyakitnya.
Sehubungan dengan hal tersebut maka sangat diperlukan suatu pengetahuan tentang
kehidupan organisme parasit yang bersangkutan selengkapnya.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Infeksi cacing Helminth
dapat mempengaruhi kesejahteraan manusia,keduanya memiliki hubungan
bolak-balik. Karena infeksi cacing Helminth pada manusia dapat menurunkan
kondisi fisik mereka, seperti yang terurai diatas bahwa cacing tersebut akan
menyerap nutrisi, glukosa bahkan darah pada manusia sehingga manusia akan
kekurangan gizi dan darah yang berakibat sakit. Manusia yang sakit akan
menurunkan produktifitas kerja atau belajar, sehingga manusia menjadi kurang
sejahtera. Dan dapat berlaku sebaliknya, manusia yang hidup kurang sejahtera
seperti keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I menurut BKKBN dapat
meningkatkan kemungkinan terinfeksi cacing Helminth. Karena keluarga tersebut
belum dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka secara sempurna, dan hidup pada
kondisi lingkungan yang kurang baik sehingga kesehatan keluarga juga tidak
baik. Maka untuk meningkatkan kesejahteraan manusia, salah satu caranya adalah
dengan menjga kebersihan diri dan lingkungan serta pola hidup yang sehat.
B. Saran
1. Sebaiknya manusia lebih menjaga kebersihan diri, keluarga, dan
lingkungan sekitar
2. Sebaiknya mempelajari lebih banyak tentang infeksi cacing, baik penularannya
maupun pencegahannya
3. Diperlukan sarana hidup yang lebih baik, perilaku hidup yang sehat
serta kebersihan lingkungan dan kebersihan perorangan perlu ditingkatkan untuk
pemberantasan dan pengendalian kecacingan.
DAFTAR PUSTAKA
Tesis oleh Salbiah 057023018/AKK.2008. Hubungan Karakteristik Siswa dengan Sanitaasi Lingkungan dengan Infeksi
Cacingan Siswa SD di Kecamatan Medan Belawan. Medan : Universitas Sumatera
Utara.
Sri Alemina Ginting.2003.Hubungan
Antara Status Sosial Ekonomi dengan Kejadian Cacingan pada Anak SD di Desa Suka
Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara. Medan :
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
(hasil penelitian )
Langganan:
Postingan (Atom)